Kok anak tidak suka dicium ?


"Jangan-jangan si kecil memang tak merasa dekat dengan kita. Bisa jadi pula, itu ungkapan protesnya karena kita kurang perhatian."
Duh, pedih rasanya hati ini, ya, Bu-Pak, kala si kecil menolak dicium dan dipeluk. Padahal, kita begitu kangen padanya setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di kantor. Ada apa gerangan dengan si kecil??

Menurut Indri Savitri, di usia batita, si kecil mulai mengembangkan hubungan emosional dengan orang lain, terutama caregiver utama, entah ibu atau ayah. "Jadi, bila attachment atau kelekatan antara anak dan orang tua terjalin dengan baik, ketika ibu-bapaknya pulang dari kantor dan ingin menciumnya untuk melepas kangen, ia akan membalasnya. Namun bila ia menolak, bisa jadi karena ia merasa tak dekat dengan orang tuanya," jelas psikolog ini.

Perlu diketahui, hubungan yang terjalin pada masa batita berbeda dengan masa bayi. Di usia bayi, hubungan yang terjadi lebih pada pemuasaan kebutuhan fisik. Misal, ketika lapar, ia menangis, lalu diberi ASI, atau ketika BAK, ia minta diganti popoknya. Setelah usia setahun, hubungan anak dengan orang lain makin berkembang, karena ia mulai mengenal orang. Hingga, dalam dirinya akan tumbuh rasa sayang pada orang yang sering mengasuhnya.

Jadi, di usia batita, hubungan yang terjalin lebih erat dan dalam ketimbang waktu bayi. Hingga, bila selama ini kita kurang memberi perhatian pada si kecil atau lebih sering menyerahkannya pada pengasuh, tak heran bila ia lantas menolak kala kita ingin menciumnya atau meminta ia mencium kita. Ia merasa, kita bukan orang yang harus dikangenin.

TANDA PROTES

Jika penolakan tersebut sering terjadi, menurut Indri, kemungkinan besar karena si kecil memang tak merasa dekat dengan kita. "Namun bila kejadiannya cuma sesekali *biasanya ia mau dicium, tapi tiba-tiba menolak, lebih merupakan tanda protes saja," tutur Kepala Divisi Klinik & Layanan Masyarakat pada Lembaga Psikologi Terapan UI ini.

Coba, deh, diingat-ingat. Mungkin ketika akan berangkat ke kantor, kita lupa pamit pada si kecil karena tergesa-gesa. Atau, kita meninggalkannya begitu saja selagi ia belum bangun tidur tanpa dicium keningnya atau diusap kepalanya. Hingga, ketika ia terbangun, ia merasa, "Kok, Bunda belum pamit tapi sudah pergi, ya?" Apalagi kalau kita pulang kantor larut malam, ia tentu merasa kehilangan. "Nah, sebagai tanda protes, anak lantas bersikap dingin, cemberut, dan tak mau dicium."

Memang, diakui Indri, tipe anak berbeda-beda, hingga bentuk protesnya pun macam-macam. Namun, apa pun tipe anak, semuanya butuh kasih sayang. Tugas orang tua untuk mengenali tipe anaknya dan peka terhadap protes yang ditunjukkannya. "Kan, ada anak yang bila merasa sedih akan ngambek dengan keras dan langsung vokal, 'Mama ke mana, sih? Tadi pagi dicari-cari enggak ada.' Namun ada yang diam dan nrimo, ada juga yang mengungkapkannya dengan enggak mau dicium, dan lainnya."

Orang tua, kata Indri, harus peka terhadap perubahan mimik anak dan harusnya sudah tahu, "Oh, si Upik lagi ngambek, nih!" atau, "Oh, si Buyung marah rupanya." Apalagi, anak batita biasanya sangat ekspresif, hingga dengan mudah bisa diketahui gejolak perasaannya. Kalau sudah begitu, kita harus langsung minta maaf. "Habis pulang bekerja, selesai mandi dan istirahat, coba dekati anak sambil sedikit bercanda, 'Kok, bibir Adek ke depan? Ada apa, nih? Lagi sedih, ya?' Dekati terus dengan lembut hingga dia bisa mengekspresikan perasaan dan kebutuhannya."

KONSISTEN DALAM PERHATIAN

Menurut Indri, bila kita ingin si kecil tak menolak dicium, kita harus bersikap konsisten dalam memberi perhatian dan tulus memberikan kasih sayang. Jangan jika sedang ingat saja kita baru mencium atau memeluk si kecil. "Anak itu lebih sensitif, lo, perasaannya. Terlebih bagi anak yang orang tuanya bekerja," bilang Indri.

Sarannya, ciptakan ritual setahap demi setahap ketika kita akan meninggalkan rumah untuk bekerja. Sebaiknya, ritual dilakukan sejak bayi. Antara lain dengan mengatakan, "Da... da...." Biasanya si kecil akan merespon dengan melambaikan tangannya juga. Kemudian, selepas usia setahun, biasanya si kecil lebih rewel kala ditinggal karena ia sudah mengenal orang tua. Nah, tambahkan ritual perpisahannya dengan menciumnya sambil berkata, "Bunda dan Ayah pergi dulu, ya. Adek baik-baik di rumah. Nanti Bunda dan Ayah kembali lagi, dan kita bisa bermain bersama lagi," misal. Tentu saja, ketika kita pergi, si kecil harus ditinggal bersama orang yang bisa dipercaya semisal pengasuh yang baik atau kakek/neneknya. Hingga, selain kebutuhan fisiknya terpenuhi, ia pun bisa memperoleh rasa aman.

Namun ingat, sentuhan emosi ini harus konsisten dan regular, enggak bisa sekarang menciumnya lalu besok si kecil dicuekin gara-gara terlalu sibuk. "Jangan anggap remeh kebutuhan anak yang minta orang tua pamit ketika hendak pergi, karena ada kepuasan baginya bila melihat ibu-bapaknya melambai-lambaikan tangan ketika pergi. Ini satu kebutuhan emosional buatnya." Jadi, tegas Indri, meski ritual tersebut tak penting buat kita, tapi jangan kita lantas tak melakukannya. Hati-hati, si kecil bisa merasa tak disayang, hingga ia mungkin akan lebih dekat dengan orang lain semisal pengasuhnya. Celaka, kan?

JANGAN MENGINTEROGASI

Bila perlu, tambah Indri, setibanya di kantor, kita menyempatkan menelepon si kecil. "Halo, Adek, makannya pakai apa tadi?" misal. Meski ia belum bisa menjawab lengkap, misal, hanya dengan mengatakan, "Udah." Atau "Telo (telur, Red.)." tapi ketika mendengar suara ayah atau bundanya, biasanya ia langsung memberi respon dengan senang. "Meski dia belum tahu rasa dihargai, tapi dia merasa bahwa orang tuanya menyayangi dirinya."

Namun hati-hati, jangan sampai pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan bersifat interogatif semisal, "Lagi ngapain? Sudah makan belum? Makannya pakai apa? Dihabiskan enggak makannya?" Jangan pula berupa pesan-pesan yang bernada memerintah, "Adek makannya jangan telat, ya! Habis makan terus mandi, baru boleh menonton TV. Tapi jangan nakal, ya!" Bila demikian, si kecil bukannya senang malah sebal, hingga bukan tak mungkin ia akan menolak telepon dari kita. Sebaiknya, gunakan cara lebih halus dan nadanya juga lebih mengobrol, misal, "Halo, Sayang, sudah makan belum? Pakai apa?"

Sekalipun aktivitas kita di kantor sangat padat, Indri minta agar kita tetap memberikan perhatian pada si kecil. "Paling tidak, ketika tiba di rumah dan anak sudah tidur, kita harus mengecup keningnya dan sedikit mengelus-elus kepalanya."

RASA AMAN


Selain itu, Indri pun menganjurkan agar kita mengusahakan bertemu si kecil sebelum pergi. Terlebih bila saat kita tiba di rumah kembali, si kecil sudah tidur. "Jika sewaktu berangkat tak ketemu anak, lalu pulangnya juga nggak ketemu karena ia sudah tidur, ia bisa bingung, 'Kok, Bunda dan Ayah enggak pernah ada di rumah, sih?' Ia akan merasa tak disayang, lo." Jadi, tegasnya, usahakan bertemu di waktu pagi untuk memandikan atau menemaninya sarapan, misal.

Dengan demikian, dalam diri si kecil akan terbentuk rasa aman. Seperti diketahui, rasa aman penting bagi anak, terutama untuk usia 3 tahun pertama. Jika si kecil punya rasa aman, ia akan mengeksplorasi dunianya dan mencari tahu segala sesuatu di lingkungannya dengan perasaan aman. Sebaliknya, bila ia merasa cemas atau selalu takut ditinggal orang tuanya karena si orang tua jarang ada di rumah, ia akan mengikuti ke mana pun orang tuanya pergi. "Jadi, anak tak bisa mandiri. Begitu mau dilepas, ia akan menolak, sedikit-sedikit teriak, 'Mama!' atau 'Papa!', padahal ia sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Ini menunjukan, anak tergantung dan tak yakin akan dirinya. Ia merasa, 'Aku, tuh, perlu ditemenin karena kalau tidak, aku enggak akan bisa.'"

Jika orang tua tak peka dan hal ini terus berlangsung, selain tak mandiri, si kecil juga sulit bergaul, lo. Padahal, anak usia batita tengah mengembangkan kemampuan sosialnya. Meski egonya masih tinggi, tapi ia tetap punya minat bermain dengan orang lain. "Nah, bila ia tak merasa aman, ia takkan mau bermain dengan teman-temannya, maunya ditemenin terus oleh orang tuanya." Beda dengan yang merasa aman, ia punya rasa kangen pada orang tuanya tapi juga bisa melakukan apa pun sendiri. Bermain tak perlu ditemani setiap saat. Artinya, bila ia punya mainan atau teman, ia bisa ditinggal ke kantor, tinggal diawasi saja oleh pengasuhnya. Ketika kita pulang, ia merasa kangen dan takkan menolak dicium ataupun dipeluk.